BADAILAUT BIRU Siang itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir putih di Pantai Krakal, sehingga terasa menyilaukan mata. Tiang - tiang perahu tua bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, bagai menari - nari di bibir pantai. Batu - batu besarpun menjulang menghiasi pojok pantai dengan kokohnya diterjang ombak yang merapat ke pantai. BADAI LAUT BIRU karya Ahmadun Y. Herfanda Siang itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir hitam hingga terasa membara. Tiang-tiang layar perahu bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, hingga perahu-perau tua itu bagai menari-nari di bibir pantai. Namun, kehidupan para nelayan terus berjalan, dalam rutinitas, mengikuti kehendak sang alam. Di atas pasir hitam, tak jauh dari sebuah perahu yang terus menari, Kardi mengemasi bekal-bekal pelayaran, jala dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak perahunya. Tiba-tiba ombak besar menghantam dinding perahu, sehingga terguncang keras. Kardi yang sedang berpegang pada bibir perahu hampir terpental. Karena guncangan itu, keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak. Dengan cepat Kardi mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi sial, yang tertangkap hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia melemparkan keranjang itu ke perahu, sehingga hampir saja mengenai kawannya yang sedang berdiri di geladak, merapikan letak tali layar perahu dan jaring-jaring ikan. Melihat Kardi kepayahan, lelaki di geladak itu, Salim, dengan tangkas meloncat ke arah Kardi dan mengambil alih keranjang-keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh itu memang terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu tubuh Kardi sudah hampir lunglai. Salim melemparkan tumpukan keranjang itu ke geladak lalu dengan kedua tangannya yang kekar dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Kardi sudah tidak kuat mengangkat tubuhnya sendiri. Salim kembali membantunya, menarik tangan Kardi sampai berhasil naik ke geladak. "Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja sudah mau pingsan," ejek Salim. Kardi hanya tersenyum pahit sambil terus merebahkan tubuhnya di pinggir geladak. Perahu mereka sesungguhnya sudah sangat tua. Umurnya kira-kira seusia kapten mereka, Pak Ruslan, yang sudah mengawaki perahu itu sejak 20 tahun lalu. Berawak sembilan orang. Enam orang lelaki dewasa, dua orang anak lelaki dan seorang gadis-anak Pak Ruslan-sebagai tukang masak. Panjang perahu kira-kira dua puluh dua meter dengan lebar kira-kira enam meter. Memiliki layar putih yang sudah mulai kecokelatan dan sudah banyak tambalannya, namun mereka belum sempat menggantinya dengan layar yang baru. Kardi masih berbaring di pinggir geladak ketika ombak semakin ganas menghantami dinding perahu. Dia bagaikan tidur di pinggir ayunan yang lebar dan hangat, membiarkan panas matahari menyengati kulit tubuhnya yang cokelat kehitaman. Seolah dia sudah biasa dibakar sinar matahari seperti itu. Dia sudah tidak pernah lagi ingin memiliki kulit tubuh yang kuning seperti ketika masih sekolah di SMA dua tahun yang lalu. Kardi masih ingat betul ketika itu memiliki kulit tubuh yang kuning dengan perawakan tinggi dan wajah simpatik. Dia masih ingat betul, ketika itu diperebutkan beberapa gadis yang tergolong berwajah cantik. Dan, dia masih ingat betul ketika berpacaran dengan gadis keturunan Tionghoa, teman sekelasnya. Namun, semuanya telah berlalu bersama kegagalannya meraih cita-cita masuk Akabri. Bersama hilangnya warna kuning kulitnya. Direnggut sang waktu. Selama dua tahun dia pun berusaha mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan ijazahnya, namun hasilnya nihil. Kemudian atas anjuran ayahnya, Kardi ikut menjadi awak perahu milik sang ayah sampai sekarang. Kini dia pasrah saja pada kehendak alam, kehendak sang nasib, kehendak waktu. Akan menjadi apa dia kelak, akan seperti apa kulit tubuhnya, dia pasrah saja. Sedangkan Salim adalah anak pamannya yang bernasib sama, gagal masuk perguruan tinggi negeri dan gagal mencari pekerjaan kantoran. "Angkat sauh, kita akan segera bertolak!" seru Pak Ruslan dari haluan. Kardi kaget dan segera bangkit. Dia melihat seseorang telah terjun ke air dan segera melepaskan tali perahu yang terikat pada tonggak di bibir pantai. Kardi segera membantunya dengan menarik tali itu dan menaikkannya ke geladak. Di cakrawala utara tampak mendung hitam bergumpalan. Angin bertiup sedang dari arah barat laut. Tapi, matahari masih tampak bersinar, condong ke ufuk barat. Dayung-dayung berkecimpung dan perlahan-lahan perahu tua itu meninggalkan daratan melaju ke arah timur laut, semakin ke tengah dan terus ke tengah. "Kembangkan layar! Angin sudah mulai lambat dan akan berganti arah," teriak Pak Ruslan. Seorang awak perahu memanjat tiang layar, melepaskan tali pengikat. Salim bersama seorang awak perahu yang lain melepaskan tali layar bagian bawah, Kardi siap dengan merentangkan tali layar membentang ke haluan. Perlahan-lahan layar pun mengembang lalu tertiup angin ke samping kanan. Parahu menjadi tidak seimbang dan miring. Dengan refleks para awak perahu mencari keseimbangan. "Belokkan haluan ke kanan!" teriak sang kapten lagi. Juru mudi segera menekankan sirip kemudi melawan arus air di sebelah kanan ekor perahu. Kardi dan Salim membetulkan letak layar dengan menarik tali-talinya. Perahu pun perlahan-lahan membelok 60 derajat ke kanan, kemudian melaju dengan tenang. Jala-jala yang berwarna biru tua mulai diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah disiapkan. Kail-kail itu masing-masing diberi pengapung sepotong kayu agar tidak tenggelam ke dasar laut. Jarak antara pengapung dan kail sekitar satu meter. Masing-masing diberi umpan sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan yang memakan umpan, kayu pengapung akan terlihat tertarik-tarik timbul tenggelam di permukaan air itu tertarik menurut larinya ikan. Tarikan dan gerakan pengapung itu kadang-kadang cepat dan keras, kadang-kadang lemah dan perlahan, tergantung pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya menarik umpan dengan cepat dan keras. Ikan tongkol dan ikan tengiri suka memakan umpan dengan menghentak-hentakkannya ke bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan lebih pelan gerakannya, namun terasa lebih berat dan mantap. Jala-jala yang dipasang di kanan kiri perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau sewaktu-waktu bilamana perlu. Sedangkan jala-jala lempar akan dilempar sekali-sekali atau berkali-kali apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya. Seorang nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak mengandung ikan dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya. * Perahu tua itu masih melaju dengan tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang mereka tuju seperti hari-hari kemarin. Pada saat demikian para awak perahu dapat beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Kardi dan Salim duduk di emper gubuk perahu, memandang langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam, Matahari timbul tenggelam di balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke laut yang semakin tampak biru. Ikan-ikan kecil banyak berloncatan di kanan kiri perahu. Loncatan ikan yang tinggi kadang-kadang masuk ke geladak perahu. Kardi mengambil sebungkus rokok dari saku celanannya lalu menawarkannya kepada Salim. Salim melolos sebatang, dan dijepitkan di belahan bibirnya. "Tumben kau membawa jarum super!" " Kan kemarin dapat hasil banyak," sahut Kardi seenaknya. Mereka berdua menyulut rokok, mengisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya. Sampai di udara asap rokok itu buyar di koyak-koyak angin laut. "Kalau hasil kita begitu terus enak, ya." "Ya, hidup kita bisa sedikit senang. Tapi sekarang panen ikan baru seminggu saja sudah abis, dan hasil kita tidak selalu banyak. Dulu, sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita nikmati sampai kira-kira tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli apa-apa. Sedangkan sekarang dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat saja. Untuk membeli perlengkapan perahu saja sangat sulit," keluh Kardi. "Sekarang kan sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroprasi di daerah kita." "Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau perampok-perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya saja beroperasi di daerah kita." "Apakah kita tak pernah lapor tentang pelanggaran-pelanggaran mereka?" "Sampai bosan, Lim. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi modern kadang-kadang bahkan menjadi alat penindas rakyat kecil. Dan sulitnya lagi kita hidup di negara yang hukum dan undang-undangnya belum menjadi kesadaran yang penuh." "Kau sudah mendengar tentang perkelahian antara nelayan kecil melawan nelayan pukat harimau di pantai Jepara yang berakhir dengan tragedi pembunuhan?" "Itu persoalannya juga seperti yang kita alami. Siapa orangnya yang tidak jengkel kalau sumber pangannya dirampok oleh orang lain? Kalau kita tidak sabar-sabar mungkin sejak dulu-dulu kita sudah bentrok dengan para perampok itu." "Ya, Di. Aku pun merasakan hal itu. Tapi, situasi hanya semakin membuat kita tidak berdaya." "Itulah, Lim. Situasi hanya semakin memojokkan kita sehingga kita semakin tidak berdaya, kecuali hanya memendam kejengkelan yang semakin mendalam." Tidak terasa dua batang rokok telah mereka habiskan. Perahu masih melaju dengan tenang. Mendung hitam semakin banyak bergumpalan di langit. "Kau tidak lapar, Lim?" "Lapar sih lapar, tapi itu dewimu belum selesai memasak. Rukmi, sudah masak belum? Ini Romeomu suda kelaparan!" Salim berolok-olok, Kardi cuma senyum-senyum saja. "Sebentar lagi!" teriak Rukmini dari dalam gubuk. Akhir-akhir ini Salim dapat mengetahui adanya hubungan batin antara Kardi dan Rukmini. Salim sering melihat pada saat-saat senggang Kardi dan Rukmini duduk berdua di buritan atau di emper gubuk. Salimpun dapat menangkap bahwa Rukmini selalu memberikan pelayanan yang istimewa kepada Kardi. Meskipun kadang-kadang dengan agak malu-malu. Secara tak sengaja Salim pernah memergoki Kardi sedang mencium Rukmini di belakang gubuk perahu seperti Slamet Raharjo mencium Christine Hakim dalam film Cinta Pertamayang pernah mereka tonton. Mesra dan lembut. "Lim, menurutmu Rukmini itu bagaimana?" "Cakep. Hitam manis," jawab Salim singkat. "Ya, tentu saja hitam manis. Mana ada gadis nelayan yang kuning langsat seperti model iklan bedak di tivi." "Ada saja." "Siapa?" "Gigimu." "Bah! Memangnya gigimu selalu kau pepsodent. Aku serius lho, Lim. Maksudku, aku cocok tidak dengan dia?" "Cocok sekali. Tir pada irenge , sir pada jalitenge . Ya, sama-sama hitamnya. Kalau menjadi satu semakin kelam seperti kepala kereta api kuno." "Jangan berkelakar, Lim. Ini sungguh-sungguh." "Memangnya aku tidak sungguh-sungguh." "Begini Lim, umurku dua puluh dua tahun, sedangkan umurnya baru enam belas tahun." "Selisih enam tahun. Selisih umur yang bagus untuk suatu perkawinan." "Kau sok tahu saja." Salim tertawa kecil. * Perahu mulai memasuki daerah sarang ikan. Para awak perahu mulai sibuk melayani alat-alat penangkap ikan. Kardi dan Salim menceburkan diri ke dalam kesibukan itu. Ada sebuah Pukat Harimau yang sedang beroprasi di situ. Padahal daerah itu termasuk daerah terlarang bagi pukat harimau. Ketika kedua perahu itu berdekatan, Pak Ruslan bertepuk tangan dengan keras lalu mengacungkan kepalnya dengan maksud agar sang pukat harimau segera menyingkir dari tempat itu. Rupanya sang pukat harimau tahu diri. Perahu itu segera menyingkir ke tengah. Para awak perahu Kardi semakin sibuk dengan ikan-ikan yang tertangkap jala dan kail mereka. Dua keranjang sudah hampir penuh ikan. Dalam kesibuk-an itu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh pukat harimau tadi yang melaju dengan cepat dari timur laut ke arah perahu mereka. Pak Ruslan segera berdiri dan menanti apa maksud perahu itu. Ketika sang pukat sudah sangat dekat dengan perahu Kardi, seseorang yang sedang berdiri di haluannya berteriak keras, "Cepat tinggalkan tempat ini! Pesawat radar kami mengisyaratkan bahwa badai akan melanda tempat ini!" Pak Ruslan hampir tidak percaya dengan berita itu. Kardi menatap langit. Langit telah berubah menjadi kelam dengan medung hitam yang bergumpalan tebal berarak ke selatan. Langit seperti mau runtuh. Pak Ruslan segera melihat berkeliling. Dia melihat tanda-tanda yang aneh. Laut di sekeliling perahunya tampak tenang tanpa ombak sedikitpun. Bagai laut mati. Dia yang sudah berpengalaman segera memberi perintah "Cepat kita tinggalkan tempat ini! Badai betul-betul akan datang!" Para awak perahu bagai tersentak. Semua segera kembali ke bagiannya masing-masing. Haluan diputar. Kemudian dengan dibantu dayung-dayung, perahu segera dilaju ke barat daya. Namun terlambat. Suara gemuruh sekonyong-konyong datang dari arah timur laut. Angin mendadak menerpa sangat keras, disertai ombak yang semakin besar menghantami dinding perahu mereka tanpa kenal ampun. Perahu tua itu terguncang-guncang keras. Dengan susah payah mereka menggulung layar untuk menghindari amukan angin. Tapi angin kencang lebih kuat menghantamnya. Layar tua itu terkembang kembali dengan keras bagai dihentakkan. Perahu hampir terbalik. Dan "kreeekk," layar tua itu robek. Perahu terayun-ayun keras bagai sepotong papan yang tak berarti, lalu perlahan-lahan miring ke kanan dan seluruh isi geladak tiba-tiba terlempar ke laut. Pak Ruslan dengan sigap melemparkan ban-ban dan pelampung. Kardi terbanting ke geladak dengan keras ketika sedang berusaha mengambil sebuah ban yang tergantung di ujung buritan. Rukmini dengan wajah pucat berpegang erat pada tinag pintu gubuk. Ia mejerit keras ketika tiang layar di depannya patah diterjang angin dan terempas ke buritan. Dan, "brruuuaaakk!" gubuk reyot di atas perahu itu pun dihempaskan angin dan roboh menghantam dinding parahu. Bersamaan dengan itu, Pak Ruslan yang masih berpegangan pada dinding perahu berteriak keras "Selamatkan diri kalian masing-masing. Perahu akan terbalik. Bersamaan dengan itu pula Kardi meloncat ke laut. Namun, begitu mendengar jeritan Rukmini, dia segera berbalik dan merangkak naik kembali ke perahu. Separo tubu Rukmini tertindih pagar yang roboh tadi. Kardi mengangkat pagar itu. Rukmini merangkak keluar. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Pada detik-detik yang menegangkan itu, dengan cepat Kardi menarik tubuh Rukmini untuk bersama-sama meloncat ke laut yang bergelombang besar. Ketika keduanya masuk ke air, Rukmini terlepas dari pegangannya dan tenggelam ditelan ombak. Dengan mata dan tangannya dia mencari-carinya. Sepintas dia melihat perahunya terbalik. Pada saat terakhir itu Pak Ruslan meloncat ke laut. Semuanya berlangsung dengan sangat cepat. Kardi melihat Rukmini muncul dari dalam air dengan gelagapan. Dia cepat-cepat mengejarnya dan dia berhasil mengepit tubuh Rukmini dengan tangan kirinya. Lalu berenang dengan susah payah. Rukmini lemas. "Aku tidak bisa berenang lagi, Mas. Rasanya kakiku ada yang patah." "Kuatkan hatimu, Rukmi. Berdoalah semoga badai segera reda dan pertolongan segera datang." "Tubuh Kardi juga semakin lemas. Dia hanya dapat berusaha untuk mengambang saja di permukaan air. Untung badai semakin reda. Namun dia menyadari bahwa kekuatannya sangat terbatas. Mungkin sebentar lagi tenaganya habis dan tentu saja akibatnya sangat fatal kalau pertolongan tidak segera datang. Kardi ngeri memikirkan itu. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kayu atau ban yang terapung di sekitarnya yang dapat digunakan untuk tempat bertumpu. Pada saat itu Pak Ruslan juga sedang berjuang mati-matian. Dengan susah payah ia berhasil menjebol selembar papan geladak perahu yang telah terbalik dan dengan selembar papan tersebut dia bermaksud mencari anaknya. "Kardi. Rukmini. Syukurlah kalian masih hidup. Papan ini hanya cukup untuk kalian berdua. Pakailah." Pak Ruslan memberikan papan itu pada mereka. "Pak Ruslan bagaimana?" "Jangan pikirkan diriku yang sudah tua begini. Kalian masih punya harapan hidup yang panjang. Selamatkan anakku!" Pak Ruslan meninggalkan mereka, berenang menembus ombak, dan hilang dari pandangan mereka. Melihat itu, Rukmini menelungkupkan mukanya ke atas papan dan menangis sejadi-jadinya. * Sekitar setengah jam kemudian, badai benar-benar reda dan laut pun kembali tenang. Kapal pukat harimau tadi mendekati mereka dan mengangkat keduanya. Sampai di geladak keduanya pingsan. Seperempat jam kemudian Kardi membuka matanya. Salim sudah berjongkok di sampingnya sambil tersenyum-senyum. Rukmini juga terbangun dan duduk bersandar pada dinding perahu. "Oh, Lim. Di mana kita sekarang?" "Di atas pukat harimau. Kita tidak jadi masuk akherat." "Di mana Pak Ruslan dan yang lain?" "Jangan khawatir. Semuanya selamat. Cuma kau dan dewimu yang pingsan. Maklum, kalian memang bukan pelaut sejati." "Kalau tadi Pak Ruslan tidak memberikan selembar papan kepada kami entah kami sudah jadi apa. Mungkin telah tenggelam berdua dimakan hiu. Dia memang betul-betul seorang kapten yang bertanggung jawab." "Ya.... Untung tadi aku kebagian sebuah ban. Nah, sekarang kusarankan padamu. Cepat-cepatlah nikahi Rukmini. Jangan berpacaran di tengah laut lagi, agar tidak dikutuk Dewa Laut seperti tadi." Kardi cuma tersenyum kecut. Rukmini tersipu-sipu. Dengan cengar-cengir Salim lantas meninggalkan mereka menuju buritan. Yogyakarta , 1979/2004 CerpenBadai Laut Biru 21 July 2022. Apakah Putri Duyung Itu Ada Menurut Islam 21 July 2022; Cara Kerja Jantung Beserta Gambarnya 21 July 2022; Cara Download Video Upin Ipin 21 July 2022; Apa Yang Dimaksud Dengan Majas Perumpamaan Postingan saya kali ini akan membahas mengenai nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerpen “BADAI LAUT BIRU” karya Ahmadun Y. Herfanda. Dalam cerpen, nilai-nilai kehidupan ada yang baik dan ada yang buruk. Langsung aja kita bahas mengenai nilai-nilai kehidupan dalam cerpen!!! 1 Nilai Agama – berdo’a dan berpasrah diri setelah berusaha “Kuatkan hatimu, Rukmi. Berdoalah semoga badai segera reda dan pertolongan segera datang.” – bersabar “Itu persoalannya juga seperti yang kita alami. Siapa orangnya yang tidak jengkel kalau sumber pangannya dirampok oleh orang lain? Kalau kita tidak sabar-sabar mungkin sejak dulu-dulu kita sudah bentrok dengan para perampok itu.” – bersyukur “Kardi. Rukmini. Syukurlah kalian masih hidup. 2 Nilai Sosial – tolong-menolong Melihat Kardi kepayahan, lelaki di geladak itu, Salim, dengan tangkas meloncat ke arah Kardi dan mengambil alih keranjang-keranjang yang dibawanya. – gotong-royong menggerakkan perahu Seorang awak perahu memanjat tiang layar, melepaskan tali pengikat. Salim bersama awak perahu lain melepaskan tali layar bagian bawah, Kardi siap dengan merentangkan tali layar membentang ke haluan. Perlahan-lahan layar pun mengembang lalu tertiup angin ke samping kanan. – penindasan “Sampai bosan, Lim. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi modern kadang-kadang bahkan menjadi penindas rakyat kecil. 3 Nilai Hukum – belum tegaknya hukum dan undang-undang Dan sulitnya kita hidup di negara yang hukum dan undang-undangnya belum menjadi kesadaran yang penuh. 4 Nilai Estetika – keindahan alam dan penggunaan majas Matahari membakar pantai berpasir hitam hingga terasa membara. 5 Nilai Sosial Budaya – penggunaan bahasa daerah {bahasa Jawa} Tir pada irenge, sir pada jalitenge. 6 Nilai Moral – bertanggung jawab “Kalau tadi Pak Ruslan tidak memberikan selembar papankepda kamientah kami sudah jadi apa. Mungkin telah tenggelam berdua dimakan hiu. Dia memang betul-betul seorang kapten yang bertanggung jawab.” – pantang menyerah Pada detik-detik yang menegangkan itu, dengan cepat Kardi menarik tubuh Rukmini untuk meloncat ke laut yang bergelombang keduanya masuk ke air, Rukmini terlepas dari pegangannya dan tenggelam ditelan ombak. Dengan mata dan tangganya dia mencari-carinya.——–Kardi melihat Rukmini muncul dari dalam air dengan gelagapan. Dia cepat-cepat mengejarnya dan dia berhasil meraih Rukmini dengan tangkas kirinya. Lalu berenang dengan susah payah. Rukmini lemas. ——–Tubuh Kardi juga semakin lemas. – merampok “Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau perampok-perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya saja beroperasi di daerah kita.” – perkelahian dan pembunuhan “Kau sudah mendengar tentang perkelahian antara nelyakecil melwan nelayan pukat harimau di pantai Jepara yang berakhir dengan tragedi pembunuhan?” Itulah beberapa nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerpen “BADAI LAUT BIRU” yang saya tahu. Nilai dalam cerpen yang berkaitan ada yang baik dan ada pula yang buruk. Oleh karena itu, mari ambil nilai-nilai yang baik/benar untuk kehidupan sehari-hari. Dariimajinasi dan bersitan ide cerita yang mengembang dari sekuntum mawar seperti itu saya melahirkan cerpen Mawar Biru bagi Novia, yang dimuat di Tabloid Nova dan kumpulan cerpen Badai Laut Biru (Senayan Abadi, Jakarta, 2005). yang dimuat di Tabloid Nova dan kumpulan cerpen Badai Laut Biru (Senayan Abadi, Jakarta, 2005). › Cerpen›Berlindung di Bawah Payung... Dengan berlindung di bawah payung yang robek oleh sabetan golok, Bu Lurah melangkah kembali ke kantornya, meninggalkan Sekretaris Desa dan Babinsa yang masih asyik menikmati teh hangat. OlehAhmadun Yosi Herfanda 7 menit baca Gerimis menderas. Bu Lurah mengernyitkan dahi di bawah payung yang robek terkena sabetan golok. Di matanya gubuk-gubuk liar yang menjadi ”pasar tiban” itu berderet makin panjang di tepi jalan masuk ke kompleks perumahan dan jalur utama yang membentuk simpang tiga di ujung jalan pula penjual sayur di gubuk-gubuk liar itu yang tidak memakai masker, padahal kelurahannya masih berstatus zona merah. Vaksinasi baru menjangkau 30 persen warga. ”Akar persoalannya ya gubuk-gubuk liar itu. Kalau tak ada gubuk liar, warga pasti lebih gampang ditertibkan,” pikir Bu Lurah. Bu Lurah memijat-mijat kepalanya, makin pusing memikirkan persoalan gubuk-gubuk liar yang tak kunjung selesai. Gara-gara terlalu bersemangat hendak menertibkannya sebuah golok seorang aktivis ormas menghantam payungnya.”Untung tidak mengenai kepala saya,” kata Bu Lurah.”Preman itu memang ngawur. Golok tajam disabetkan ke kepala Bu Lurah,” Sekretaris Desa Babinsa diam terpaku menyimak percakapan itu. Bu Lurah sedikit lega, curhat kejengkelannya ada yang memperhatikan pas pada saat diperlukan. Ia melirik ke atas memeriksa payungnya. Gerimis masuk ke celah robekan payungnya, menimpa rok bawah pakaian dinasnya. Ia menarik rok bawahnya setinggi lutut, dan memutar payungnya sehingga celah robekan itu berada di belakang kepalanya.”Sekarang sementara sudah aman, Bu. Tersangkanya sudah kita tangkap. Aparat juga sudah menyegel kantornya,” tutur Babinsa.”Syukurlah…. Tapi, kita harus tetap waspada,” timpal Bu Lurah.”Tentu saja, Bu. Saya dan aparat keamanan akan terus mengawasi,” jawab Bu Lurah hanya bersitegang dengan para aktivis ormas yang menguasai jalan dan menjadi backing warung-warung liar itu. Konon pemilik warung membayar sewa bulanan kepada ormas tersebut. Untung saja hari sedang gerimis, sehingga ketika seorang aktivis ormas mengayunkan golok sempat ia tangkis dengan payung. Kini aktivis ormas itu sudah diringkus oleh aparat keamanan dan kantornya yang juga berada di deretan bangunan liar itu sudah disegel kompleks perumahan menuntut Bu Lurah agar secepatnya menertibkan gubuk-gubuk liar itu, atau memindahkannya ke lahan kosong lima ratus meter di seberang jalan. Warga ingin Bu Lurah memindahkan kesemrawutan di simpang tiga ujung jalan itu. Lahan kosong yang terletak lima ratus meter di luar kompleks perumahan adalah tempat yang paling mungkin untuk menampung para pedagang di ”pasar tiban” itu. Tapi, tidak semua pedagang bersedia pindah dengan berbagai ujung jalan itu bersih dan rapi, tidak pernah terlihat macet. Mulanya hanya ada penjual es cendol dengan gerobak dorong di ujung jalan. Melihat dagangannya laris, kemudian penjual kebab mengikutinya, lalu diikuti penjual martabak, dan gorengan. Entah bagaimana ceritanya, di simpang tiga itu kemudian dibangun warung-warung liar, makin lama makin banyak, dan salah satunya berbendera ormas. Ketika ketua RW perumahan menanyakan pada ketua ormas, jawabnya, ”Sudah izin Bu Lurah.”Bu Lurah merasa namanya dicatut, dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab. Tetapi, ia kesulitan untuk menertibkan pasar tiban yang telanjur ramai. Pasar tiban itu semakin padat dan semrawut, dan pada masa pandemi ini banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Tidak hanya warga perumahan yang terhambat tiap akan keluar kompleks, tapi kendaraan-kendaraan yang melintasi jalur utama juga terganggu oleh banyaknya konsumen pasar dan motor yang parkir sembarangan di depan warung-warung itu, sehingga simpang tiga itu sering macet total dari semua RT dan RW juga sering bertengkar dengan tukang parkir karena sering mengatur motor dan mobil sembarangan di jalan masuk ke kompleks itu.”Pokoknya pasar itu harus segera dipindah, Bu Lurah,” kata Pak RT, seorang pensiunan tantara, pada suatu rapat di kantor kelurahan.”Tiap hujan deras sampah-sampah pasar juga pada masuk kompleks. Kotor dan bau,” tambah Pak RW. ”Saya kira tepat usul agar pasar itu segera dipindah.”Kemudian disepakati pasar tiban itu akan dipindah ke tanah kosong di seberang jalan. Tetapi, tampaknya tidak mudah. Sampai berbulan-bulan, bertahun-tahun, pasar tiban itu tak kunjung dipindah, dan simpang tiga itu tetap macet dan semrawut. Ada tarik-ulur kepentingan antara warga dengan ormas dan pejabat kecamatan yang tidak mudah kompleks perumahan itu memang agak masuk ke dalam, sekitar 100 meter. Sebelum pos satpam, di sisi kanan dan kiri jalan, ada tanah kosong selebar sekitar dua meter yang semula akan dijadikan taman. Tapi, sebelum pembangunan kompleks selesai 100 persen, perusahaan pengembangnya bangkrut karena krisis moneter 1998, dan direkturnya meninggal karena stres berat. Lahan-lahan kompleks yang masih kosong, yang terkesan tidak bertuan, akhirnya dijarah dan dikuasai ormas. Pemda setempat kemudian memang bertindak, tapi lahan yang terlanjur dikuasai ormas menjadi persoalan yang tak kunjung gubuk-gubuk liar itu dibangun, lahan kosong di kanan-kiri jalan desa yang menjadi akses utama simpang tiga itu menjadi rebutan para pedagang liar. Tahu banyak pedagang liar berebut lahan, lagi-lagi ormas itu memanfaatkan kesempatan dengan menguasai dan memberlakukan ”pajak gelap” kepada para pedagang. Pemerintah desa yang lambat bertindak hanya gigit jari tahu ”pajak” itu masuk ke kantong ormas, dan Bu Lurah harus bertengkar dengan aktivis ormas untuk menertibkan gubuk-gubuk liar Lurah melipat payung robeknya, karena hujan telah reda dan matahari menyembul dari celah awan hitam. Dengan wajah keruh, ia mengamati gubuk-gubung liar yang berderet di kanan-kiri jalan itu. Selesai menyegel kantor ormas, dan mengamankan ”pendekar bergolok”, polisi pun meninggalkan Bu Lurah sendirian. Sekretaris Desa dan Babinsa bersiap minum teh hangat di warung kecil ujung simpang tiga. Tiba-tiba sesosok lelaki berpakaian hitam-hitam mendekati Bu Lurah. Di pinggangnya terselip sebilah golok. Bu Lurah agak curiga.”Bu Lurah, apa pedagang itu jadi dipindah?” tanya lelaki bergolok itu.”Anda siapa?” Bu Lurah balik bertanya.”Gue Kodari, ketua ormas cabang. Masak kagak kenal gue,” jawab lelaki bergolok itu agak ketus sambil mengelus-elus gagang goloknya yang terselip di pinggang.”Oh, Pak Kodari. Maaf…. Ya, jadi dipindah ke lahan kosong itu. Sudah disetujui Pak Camat,” jawab Bu Lurah, sambil menenangkan diri.”Gue tadi ketemu Pak Camat. Katanya masih dipertimbangkan. Karena, di lahan kosong itu akan dibangun kompleks ruko.””Betul… akan disatukan dengan kompleks ruko itu. Jadi nanti ada pasarnya.””Tapi kan masih lama, Bu Lurah. Itu juga baru rencana. Belum tentu jadi. Biarkan mereka berjualan di sini dulu sampai pasarnya jadi.””Tidak bisa. Di sini macet. Warga kompleks pada complain ke saya.””Warga kompleks yang mana? Paling tiga orang itu, kan?” kata Kodari sambal menunjuk tiga sosok yang berdiri di depan pos satpam”Dia pengurus RT dan RW, mewakili warga…. Nanti pasarnya dipindah dulu ke sana. Bangun rukonya menyusul belakangan,” jelas Bu tidak menanggapi. Hanya petentang-petenteng sambil memegang-megang gagang goloknya, kemudian melangkah ke tengah jalan seperti memamerkan kegagahannya. Tiba-tiba hujan deras datang, seperti dituang dari langit, mengguyur Kodari. Mau tak mau dia lari menghindar. Tapi, air hujan sudah terlanjur membasahi tubuhnya. Sesaat dia menatap markasnya yang sudah disegel polisi. Mungkin mau masuk. Tetapi, menyadari kantornya sudah disegel dan diberi garis kuning, kemudian dia berlari ke jalan utama dan terus menderas. Dengan tubuh setengah basah, dan wajah muram, Bu Lurah membuka kembali payungnya dan ia berlindung di bawah payung yang robek terkena sabetan golok itu. Dalam guyuran hujan gubuk-gubuk liar itu tampak berderet membisu, seakan menagih janji Bu Lurah untuk menertibkannya. Orang-orang yang berteduh di emperan gubuk-gubuk liar itu tampak seperti menggigil kedinginan dan lupa atau tak tahu persoalan yang sedang terjadi.”Haruskah pemerintah kalah dengan ormas?” gumam Bu Lurah. ”Negara kok mau diatur oleh preman. Yang bener aja!”Dengan berlindung di bawah payung yang robek oleh sabetan golok, Bu Lurah melangkah kembali ke kantornya, meninggalkan Sekretaris Desa dan Babinsa yang masih asyik menikmati teh hangat sambil sesekali mengepulkan asap rokok bercampur serpihan air Yosi Herfanda, lahir di Kaliwungu, 17 Januari 1958. Menulis cerpen, puisi, dan esai sastra. Kini Pemred LITERA dan mengajar creative writing di UMN Serpong. Bukunya yang telah terbit, antara lain, Sebelum Tertawa Dilarang cerpen, Badai Laut Biru cerpen, Sembahyang Rumputan puisi, dan Ketika Rumputan Bertemu Tuhan puisi.Willy Himawan lahir di Denpasar, Februari 1983, saat ini tinggal di Bandung. Willy menyelesaikan pendidikan S-1, S-2, dan S-3 di ITB. Sehari-harinya mengajar di Program Studi Seni Rupa FSRD ITB dan tergabung dalam Kelompok Keilmuan Seni Rupa ITB. Selain mengajar, Willy yang asli Bali juga aktif berpameran sejak 2002 hingga kini dalam pameran-pameran di dalam dan luar negeri. Beberapa karyanya telah menjadi koleksi, mulai dari Museum GAFA of Guangzhou, Ratchadamnoen Contemporary Art Centre di Thailand, ASEAN COCI, Grand Indonesia Kempinsky, dan Museum ARMA Bali. EditorMohammad Hilmi Faiq, Maria Susy Berindra Unsurintrinsik cerpen badai laut biru beserta penjelasan nya. Question from @Lisa396 - Sekolah Menengah Atas - B. indonesia. buatlah cerpen bahasa indonesia 1 lembar? tolong bantu ya. eesterchandra62 May 2021 | 0 Replies . Stepa disebut dalam berbagai nama, seperti pampa (amerika selatan), prairi (amerika serikat), puspa (hongaria), dan 75% found this document useful 4 votes11K views5 pagesOriginal TitleANALISIS UNSUR INSTRINSIK BADAI LAUT BIRUCopyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?75% found this document useful 4 votes11K views5 pagesAnalisis Unsur Instrinsik Badai Laut BiruOriginal TitleANALISIS UNSUR INSTRINSIK BADAI LAUT BIRUJump to Page You are on page 1of 5 You're Reading a Free Preview Page 4 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. Bagaimanamengonversikan cerpen "badai laut biru " ke bentuk drama? shiffah123 Langkah untuk mengubah cerpen menjadi naskah drama 1. membaca cerpen secara keseluruhan 2.menentukan topik dan inti cerita 3.mengidentifikasi tokoh dalam cerpen serta perwatakannya 4. menentukan latar 5. menggolongkan dialog sesuaikan dengan tokoh yang berbicara.

SIANG itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir hitam hingga terasa membara. Tiang-tiang layar perahu bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, hingga perahu-perau tua itu bagai menari-nari di bibir pantai. Namun, kehidupan para nelayan terus berjalan, dalam rutinitas, mengikuti kehendak sang alam. Di atas pasir hitam, tak jauh dari sebuah perahu yang terus menari, Kardi mengemasi bekal-bekal pelayaran, jala dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak perahunya. Tiba-tiba ombak besar menghantam dinding perahu, sehingga terguncang keras. Kardi yang sedang berpegang pada bibir perahu hampir terpental. Karena guncangan itu, keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak. Dengan cepat Kardi mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi sial, yang tertangkap hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia melemparkan keranjang itu ke perahu, sehingga hampir saja mengenai kawannya yang sedang berdiri di geladak, merapikan letak tali layar perahu dan jaring-jaring ikan. Melihat Kardi kepayahan, lelaki di geladak itu, Salim, dengan tangkas meloncat ke arah Kardi dan mengambil alih keranjang-keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh itu memang terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu tubuh Kardi sudah hampir lunglai. Salim melemparkan tumpukan keranjang itu ke geladak lalu dengan kedua tangannya yang kekar dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Kardi sudah tidak kuat mengangkat tubuhnya sendiri. Salim kembali membantunya, menarik tangan Kardi sampai berhasil naik ke geladak. "Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja sudah mau pingsan," ejek Salim. Kardi hanya tersenyum pahit sambil terus merebahkan tubuhnya di pinggir geladak. Perahu mereka sesungguhnya sudah sangat tua. Umurnya kira-kira seusia kapten mereka, Pak Ruslan, yang sudah mengawaki perahu itu sejak 20 tahun lalu. Berawak sembilan orang. Enam orang lelaki dewasa, dua orang anak lelaki dan seorang gadis-anak Pak Ruslan-sebagai tukang masak. Panjang perahu kira-kira dua puluh dua meter dengan lebar kira-kira enam meter. Memiliki layar putih yang sudah mulai kecokelatan dan sudah banyak tambalannya, namun mereka belum sempat menggantinya dengan layar yang baru. Kardi masih berbaring di pinggir geladak ketika ombak semakin ganas menghantami dinding perahu. Dia bagaikan tidur di pinggir ayunan yang lebar dan hangat, membiarkan panas matahari menyengati kulit tubuhnya yang cokelat kehitaman. Seolah dia sudah biasa dibakar sinar matahari seperti itu. Dia sudah tidak pernah lagi ingin memiliki kulit tubuh yang kuning seperti ketika masih sekolah di SMA dua tahun yang lalu. Kardi masih ingat betul ketika itu memiliki kulit tubuh yang kuning dengan perawakan tinggi dan wajah simpatik. Dia masih ingat betul, ketika itu diperebutkan beberapa gadis yang tergolong berwajah cantik. Dan, dia masih ingat betul ketika berpacaran dengan gadis keturunan Tionghoa, teman sekelasnya. Namun, semuanya telah berlalu bersama kegagalannya meraih cita-cita masuk Akabri. Bersama hilangnya warna kuning kulitnya. Direnggut sang waktu. Selama dua tahun dia pun berusaha mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan ijazahnya, namun hasilnya nihil. Kemudian atas anjuran ayahnya, Kardi ikut menjadi awak perahu milik sang ayah sampai sekarang. Kini dia pasrah saja pada kehendak alam, kehendak sang nasib, kehendak waktu. Akan menjadi apa dia kelak, akan seperti apa kulit tubuhnya, dia pasrah saja. Sedangkan Salim adalah anak pamannya yang bernasib sama, gagal masuk perguruan tinggi negeri dan gagal mencari pekerjaan kantoran. "Angkat sauh, kita akan segera bertolak!" seru Pak Ruslan dari haluan. Kardi kaget dan segera bangkit. Dia melihat seseorang telah terjun ke air dan segera melepaskan tali perahu yang terikat pada tonggak di bibir pantai. Kardi segera membantunya dengan menarik tali itu dan menaikkannya ke geladak. Di cakrawala utara tampak mendung hitam bergumpalan. Angin bertiup sedang dari arah barat laut. Tapi, matahari masih tampak bersinar, condong ke ufuk barat. Dayung-dayung berkecimpung dan perlahan-lahan perahu tua itu meninggalkan daratan melaju ke arah timur laut, semakin ke tengah dan terus ke tengah. "Kembangkan layar! Angin sudah mulai lambat dan akan berganti arah," teriak Pak Ruslan. Seorang awak perahu memanjat tiang layar, melepaskan tali pengikat. Salim bersama seorang awak perahu yang lain melepaskan tali layar bagian bawah, Kardi siap dengan merentangkan tali layar membentang ke haluan. Perlahan-lahan layar pun mengembang lalu tertiup angin ke samping kanan. Parahu menjadi tidak seimbang dan miring. Dengan refleks para awak perahu mencari keseimbangan. "Belokkan haluan ke kanan!" teriak sang kapten lagi. Juru mudi segera menekankan sirip kemudi melawan arus air di sebelah kanan ekor perahu. Kardi dan Salim membetulkan letak layar dengan menarik tali-talinya. Perahu pun perlahan-lahan membelok 60 derajat ke kanan, kemudian melaju dengan tenang. Jala-jala yang berwarna biru tua mulai diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah disiapkan. Kail-kail itu masing-masing diberi pengapung sepotong kayu agar tidak tenggelam ke dasar laut. Jarak antara pengapung dan kail sekitar satu meter. Masing-masing diberi umpan sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan yang memakan umpan, kayu pengapung akan terlihat tertarik-tarik timbul tenggelam di permukaan air itu tertarik menurut larinya ikan. Tarikan dan gerakan pengapung itu kadang-kadang cepat dan keras, kadang-kadang lemah dan perlahan, tergantung pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya menarik umpan dengan cepat dan keras. Ikan tongkol dan ikan tengiri suka memakan umpan dengan menghentak-hentakkannya ke bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan lebih pelan gerakannya, namun terasa lebih berat dan mantap. Jala-jala yang dipasang di kanan kiri perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau sewaktu-waktu bilamana perlu. Sedangkan jala-jala lempar akan dilempar sekali-sekali atau berkali-kali apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya. Seorang nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak mengandung ikan dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya. * Perahu tua itu masih melaju dengan tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang mereka tuju seperti hari-hari kemarin. Pada saat demikian para awak perahu dapat beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Kardi dan Salim duduk di emper gubuk perahu, memandang langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam, Matahari timbul tenggelam di balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke laut yang semakin tampak biru. Ikan-ikan kecil banyak berloncatan di kanan kiri perahu. Loncatan ikan yang tinggi kadang-kadang masuk ke geladak perahu. Kardi mengambil sebungkus rokok dari saku celanannya lalu menawarkannya kepada Salim. Salim melolos sebatang, dan dijepitkan di belahan bibirnya. "Tumben kau membawa jarum super!" " Kan kemarin dapat hasil banyak," sahut Kardi seenaknya. Mereka berdua menyulut rokok, mengisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya. Sampai di udara asap rokok itu buyar di koyak-koyak angin laut. "Kalau hasil kita begitu terus enak, ya." "Ya, hidup kita bisa sedikit senang. Tapi sekarang panen ikan baru seminggu saja sudah abis, dan hasil kita tidak selalu banyak. Dulu, sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita nikmati sampai kira-kira tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli apa-apa. Sedangkan sekarang dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat saja. Untuk membeli perlengkapan perahu saja sangat sulit," keluh Kardi. "Sekarang kan sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroprasi di daerah kita." "Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau perampok-perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya saja beroperasi di daerah kita." "Apakah kita tak pernah lapor tentang pelanggaran-pelanggaran mereka?" "Sampai bosan, Lim. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi modern kadang-kadang bahkan menjadi alat penindas rakyat kecil. Dan sulitnya lagi kita hidup di negara yang hukum dan undang-undangnya belum menjadi kesadaran yang penuh." "Kau sudah mendengar tentang perkelahian antara nelayan kecil melawan nelayan pukat harimau di pantai Jepara yang berakhir dengan tragedi pembunuhan?" "Itu persoalannya juga seperti yang kita alami. Siapa orangnya yang tidak jengkel kalau sumber pangannya dirampok oleh orang lain? Kalau kita tidak sabar-sabar mungkin sejak dulu-dulu kita sudah bentrok dengan para perampok itu." "Ya, Di. Aku pun merasakan hal itu. Tapi, situasi hanya semakin membuat kita tidak berdaya." "Itulah, Lim. Situasi hanya semakin memojokkan kita sehingga kita semakin tidak berdaya, kecuali hanya memendam kejengkelan yang semakin mendalam." Tidak terasa dua batang rokok telah mereka habiskan. Perahu masih melaju dengan tenang. Mendung hitam semakin banyak bergumpalan di langit. "Kau tidak lapar, Lim?" "Lapar sih lapar, tapi itu dewimu belum selesai memasak. Rukmi, sudah masak belum? Ini Romeomu suda kelaparan!" Salim berolok-olok, Kardi cuma senyum-senyum saja. "Sebentar lagi!" teriak Rukmini dari dalam gubuk. Akhir-akhir ini Salim dapat mengetahui adanya hubungan batin antara Kardi dan Rukmini. Salim sering melihat pada saat-saat senggang Kardi dan Rukmini duduk berdua di buritan atau di emper gubuk. Salimpun dapat menangkap bahwa Rukmini selalu memberikan pelayanan yang istimewa kepada Kardi. Meskipun kadang-kadang dengan agak malu-malu. Secara tak sengaja Salim pernah memergoki Kardi sedang mencium Rukmini di belakang gubuk perahu seperti Slamet Raharjo mencium Christine Hakim dalam film Cinta Pertama yang pernah mereka tonton. Mesra dan lembut. "Lim, menurutmu Rukmini itu bagaimana?" "Cakep. Hitam manis," jawab Salim singkat. "Ya, tentu saja hitam manis. Mana ada gadis nelayan yang kuning langsat seperti model iklan bedak di tivi." "Ada saja." "Siapa?" "Gigimu." "Bah! Memangnya gigimu selalu kau pepsodent. Aku serius lho, Lim. Maksudku, aku cocok tidak dengan dia?" "Cocok sekali. Tir pada irenge , sir pada jalitenge . Ya, sama-sama hitamnya. Kalau menjadi satu semakin kelam seperti kepala kereta api kuno." "Jangan berkelakar, Lim. Ini sungguh-sungguh." "Memangnya aku tidak sungguh-sungguh." "Begini Lim, umurku dua puluh dua tahun, sedangkan umurnya baru enam belas tahun." "Selisih enam tahun. Selisih umur yang bagus untuk suatu perkawinan." "Kau sok tahu saja." Salim tertawa kecil. * Perahu mulai memasuki daerah sarang ikan. Para awak perahu mulai sibuk melayani alat-alat penangkap ikan. Kardi dan Salim menceburkan diri ke dalam kesibukan itu. Ada sebuah Pukat Harimau yang sedang beroprasi di situ. Padahal daerah itu termasuk daerah terlarang bagi pukat harimau. Ketika kedua perahu itu berdekatan, Pak Ruslan bertepuk tangan dengan keras lalu mengacungkan kepalnya dengan maksud agar sang pukat harimau segera menyingkir dari tempat itu. Rupanya sang pukat harimau tahu diri. Perahu itu segera menyingkir ke tengah. Para awak perahu Kardi semakin sibuk dengan ikan-ikan yang tertangkap jala dan kail mereka. Dua keranjang sudah hampir penuh ikan. Dalam kesibuk-an itu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh pukat harimau tadi yang melaju dengan cepat dari timur laut ke arah perahu mereka. Pak Ruslan segera berdiri dan menanti apa maksud perahu itu. Ketika sang pukat sudah sangat dekat dengan perahu Kardi, seseorang yang sedang berdiri di haluannya berteriak keras, "Cepat tinggalkan tempat ini! Pesawat radar kami mengisyaratkan bahwa badai akan melanda tempat ini!" Pak Ruslan hampir tidak percaya dengan berita itu. Kardi menatap langit. Langit telah berubah menjadi kelam dengan medung hitam yang bergumpalan tebal berarak ke selatan. Langit seperti mau runtuh. Pak Ruslan segera melihat berkeliling. Dia melihat tanda-tanda yang aneh. Laut di sekeliling perahunya tampak tenang tanpa ombak sedikitpun. Bagai laut mati. Dia yang sudah berpengalaman segera memberi perintah "Cepat kita tinggalkan tempat ini! Badai betul-betul akan datang!" Para awak perahu bagai tersentak. Semua segera kembali ke bagiannya masing-masing. Haluan diputar. Kemudian dengan dibantu dayung-dayung, perahu segera dilaju ke barat daya. Namun terlambat. Suara gemuruh sekonyong-konyong datang dari arah timur laut. Angin mendadak menerpa sangat keras, disertai ombak yang semakin besar menghantami dinding perahu mereka tanpa kenal ampun. Perahu tua itu terguncang-guncang keras. Dengan susah payah mereka menggulung layar untuk menghindari amukan angin. Tapi angin kencang lebih kuat menghantamnya. Layar tua itu terkembang kembali dengan keras bagai dihentakkan. Perahu hampir terbalik. Dan "kreeekk," layar tua itu robek. Perahu terayun-ayun keras bagai sepotong papan yang tak berarti, lalu perlahan-lahan miring ke kanan dan seluruh isi geladak tiba-tiba terlempar ke laut. Pak Ruslan dengan sigap melemparkan ban-ban dan pelampung. Kardi terbanting ke geladak dengan keras ketika sedang berusaha mengambil sebuah ban yang tergantung di ujung buritan. Rukmini dengan wajah pucat berpegang erat pada tinag pintu gubuk. Ia mejerit keras ketika tiang layar di depannya patah diterjang angin dan terempas ke buritan. Dan, "brruuuaaakk!" gubuk reyot di atas perahu itu pun dihempaskan angin dan roboh menghantam dinding parahu. Bersamaan dengan itu, Pak Ruslan yang masih berpegangan pada dinding perahu berteriak keras "Selamatkan diri kalian masing-masing. Perahu akan terbalik. Bersamaan dengan itu pula Kardi meloncat ke laut. Namun, begitu mendengar jeritan Rukmini, dia segera berbalik dan merangkak naik kembali ke perahu. Separo tubu Rukmini tertindih pagar yang roboh tadi. Kardi mengangkat pagar itu. Rukmini merangkak keluar. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Pada detik-detik yang menegangkan itu, dengan cepat Kardi menarik tubuh Rukmini untuk bersama-sama meloncat ke laut yang bergelombang besar. Ketika keduanya masuk ke air, Rukmini terlepas dari pegangannya dan tenggelam ditelan ombak. Dengan mata dan tangannya dia mencari-carinya. Sepintas dia melihat perahunya terbalik. Pada saat terakhir itu Pak Ruslan meloncat ke laut. Semuanya berlangsung dengan sangat cepat. Kardi melihat Rukmini muncul dari dalam air dengan gelagapan. Dia cepat-cepat mengejarnya dan dia berhasil mengepit tubuh Rukmini dengan tangan kirinya. Lalu berenang dengan susah payah. Rukmini lemas. "Aku tidak bisa berenang lagi, Mas. Rasanya kakiku ada yang patah." "Kuatkan hatimu, Rukmi. Berdoalah semoga badai segera reda dan pertolongan segera datang." "Tubuh Kardi juga semakin lemas. Dia hanya dapat berusaha untuk mengambang saja di permukaan air. Untung badai semakin reda. Namun dia menyadari bahwa kekuatannya sangat terbatas. Mungkin sebentar lagi tenaganya habis dan tentu saja akibatnya sangat fatal kalau pertolongan tidak segera datang. Kardi ngeri memikirkan itu. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kayu atau ban yang terapung di sekitarnya yang dapat digunakan untuk tempat bertumpu. Pada saat itu Pak Ruslan juga sedang berjuang mati-matian. Dengan susah payah ia berhasil menjebol selembar papan geladak perahu yang telah terbalik dan dengan selembar papan tersebut dia bermaksud mencari anaknya. "Kardi. Rukmini. Syukurlah kalian masih hidup. Papan ini hanya cukup untuk kalian berdua. Pakailah." Pak Ruslan memberikan papan itu pada mereka. "Pak Ruslan bagaimana?" "Jangan pikirkan diriku yang sudah tua begini. Kalian masih punya harapan hidup yang panjang. Selamatkan anakku!" Pak Ruslan meninggalkan mereka, berenang menembus ombak, dan hilang dari pandangan mereka. Melihat itu, Rukmini menelungkupkan mukanya ke atas papan dan menangis sejadi-jadinya. * Sekitar setengah jam kemudian, badai benar-benar reda dan laut pun kembali tenang. Kapal pukat harimau tadi mendekati mereka dan mengangkat keduanya. Sampai di geladak keduanya pingsan. Seperempat jam kemudian Kardi membuka matanya. Salim sudah berjongkok di sampingnya sambil tersenyum-senyum. Rukmini juga terbangun dan duduk bersandar pada dinding perahu. "Oh, Lim. Di mana kita sekarang?" "Di atas pukat harimau. Kita tidak jadi masuk akherat." "Di mana Pak Ruslan dan yang lain?" "Jangan khawatir. Semuanya selamat. Cuma kau dan dewimu yang pingsan. Maklum, kalian memang bukan pelaut sejati." "Kalau tadi Pak Ruslan tidak memberikan selembar papan kepada kami entah kami sudah jadi apa. Mungkin telah tenggelam berdua dimakan hiu. Dia memang betul-betul seorang kapten yang bertanggung jawab." "Ya.... Untung tadi aku kebagian sebuah ban. Nah, sekarang kusarankan padamu. Cepat-cepatlah nikahi Rukmini. Jangan berpacaran di tengah laut lagi, agar tidak dikutuk Dewa Laut seperti tadi." Kardi cuma tersenyum kecut. Rukmini tersipu-sipu. Dengan cengar-cengir Salim lantas meninggalkan mereka menuju buritan.

iii kepribadian tokoh utama dalam cerpen saga < Ç^zv v xxx 9 9 kepribadian tokoh utama dalam cerpen saga karya shantined dari kumpulan cerpen un soir du paris: kajian psikoanalisis personality of main character in the short story saga by shantined from short story collection un soir du paris: psychoanalysis studies tita nurajeng miyasari XFJ4Xe.
  • o79pbnzpoc.pages.dev/212
  • o79pbnzpoc.pages.dev/353
  • o79pbnzpoc.pages.dev/126
  • o79pbnzpoc.pages.dev/55
  • o79pbnzpoc.pages.dev/148
  • o79pbnzpoc.pages.dev/230
  • o79pbnzpoc.pages.dev/56
  • o79pbnzpoc.pages.dev/224
  • o79pbnzpoc.pages.dev/267
  • cerpen badai laut biru